Kopi TIMES

Menghapus Dikotomi Makna Warga dan Penduduk

Selasa, 16 Februari 2021 - 22:40
Menghapus Dikotomi Makna Warga dan Penduduk Tri Karjono, ASN BPS Provinsi Jawa Tengah.

TIMES TARAKAN, JAWA TENGAH – Belum lama salah seorang gubernur di negeri ini sedikit mengeluhkan situasi okupansi rumah sakit di wilayahnya yang lebih tinggi akibat banyaknya pasien Covid-19 yang notabene bukan warganya. Hal ini disinyalir karena kurang terpenuhi dan kurangnya kemampuan fasilitas kesehatan di wilayah sekitarnya yang notabene pasien tersebut tercatat administrasi kependudukannya.

Menyadari bahwa akibat pasien non penduduk setempat tersebut bukan menjadi ranah kewenangannya, akhirnya harapan ditumpukan ke pemerintah pusat untuk ikut memikirkan kecukupan dan kemampuan fasilitas kesehatan di wilayah sekitar tersebut.

Statemen tersebut menimbulkan banyak komentar dari berbagai kalangan. Komentar yang dibumbui akibat perbedaan dan persamaan pandangan politik yang hingga jauh dari kata realistispun hampir selalu ikut menyertai di dalamnya. Diantara komentar tersebut adalah gubernur telah bersikap egois dan hanya mementingkan warga dan wilayahnya saja. Walaupun memang dirasa wajar juga jika pemimpin wilayah dipilih untuk bertanggung jawab dan berwenang terhadap wilayahnya saja.

Sikap salah satu gubernur tersebut sebenarnya sudah sering kita dengar dari berbagai pemangku wilayah diberbagai tingkatan bahkan hingga tingkat RT sekalipun. Contoh nyata itu biasanya terjadi terkait dengan perhatian dan upaya pemerintah dalam membantu meningkatkan kesejahtaraan masyarakat. Kata-kata ‘itu bukan warga saya’, ‘itu bukan penduduk sini maka bukan menjadi tanggungjawab saya’ sering kita jumpai. Atau pula warga yang mempertanyakan perihal status tetangga kepada pemimpin wilayahnya perihal statusnya ketika sebuah kebijakan dilakukan.

Selama ini pemerintah telah banyak mengucurkan berbagai macam bantuan dalam rangka meningkatkan taraf hidup sebagian masyarakat. Terlebih lagi dengan adanya pandemi setahun terakhir ini sangat nyata dan lebih tinggi intensitas perhatian tersebut. Bahwa pandemi secara nyata telah berdampak kepada kondisi ekonomi, kesehatan dan sosial warga yang menjadikan pertimbangannya. Beberapa indikator seperti tingkat kemiskinan, pengangguran, pendapatan dan yang lainnya terdampak signifikan oleh karenanya. 

Terkait dengan siapa yang berhak dan tidak berhak untuk mendapatkan berbagai stimulan tersebut biasanya akan memunculkan berbagai kalimat diatas, yaitu perihal status seseorang sebagai warga atau bukan warga di wilayahnya. Seseorang tidak mendapat suatu pelayanan tidak jarang hanya karena tidak tercatat secara resmi sebagai warga di wilayah tersebut atau pula tercatat secara resmi tetapi secara fakta sudah tinggal di wilayah tersebut.

Jika menilik janji seorang calon pemimpin wilayah yang biasa sering kita dengar adalah akan merusaha meningkatkan taraf hidup atau kesejahteraan warga, sangat jarang kita dengar kata penduduk disana. Hanya saja disini apakah yang bersangkutan mengartikan istilah warga itu sama artinya dengan penduduk atau tidak, tidak terjelaskan disini. Demikian pula apakah yang bersangkutan tidak tahu ada tidaknya perbedaan atau sebenarnya tahu perbedaannya kemudian sengaja mendikotomikan keduanya dan memilih salah satunya.

Definisi

Pasal 26 UUD 1945 menyatakan bahwa warga negara adalah orang Indonesia asli dan orang asing yang disahkan sebagai warga Indonesia, sedangkan penduduk adalah WNI dan WNA yang tinggal di Indonesia dalam kurun waktu tertentu atau berniat tinggal di Indonesia dalam janga waktu tertentu (= 1 tahun).

Bagi WNI, negara status kependudukannya dengan identitas nomor induk kependudukan (NIK) yang bersifat unik atau khas, tunggal dan melekat pada seseorang. Satu orang yang dinyatakan sebagai warga negara Indonesia mempunyai satu nomor identitas tersebut. Lepas dari sudah tercatat atau belum. Disini terlihat jelas bahwa sejatinya secara tidak langsung dalam kasus di Indonesia istilah warga hampir tidak berbeda dengan penduduk. Hal ini juga didukung dari definisi penduduk di beberapa referensi dimana orang yang bertempat tinggal atau menetap di wilayah tertentu, kemudian akan sekaligus menjadi warga negara bersangkutan ketika sah dimata hukum melalui nomor induk kependudukan diatas. 

Namun sepertinya dua istilah yang satu makna ini hanya akan konfirm pada tingkat negara, dimana warga sekaligus penduduk adalah orang yang sama dimanapun dia berada, dimanapun penduduk itu berada adalah warga negara Indonesia. Tetapi ketika sampai tingkat wilayah dibawahnya, baik provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan hingga RW dan RT akan berbeda.

Karena pada kenyataannya bahwa orang yang bertempat tinggal atau menetap dalam suatu wilayah dalam hal ini terdefinisi sebagai penduduk wilayah tersebut tetapi tidak berstatus warga karena terdaftar secara hukum di wilayah lain seringkali diperlakukan berbeda oleh kebanyakan pimpinan wilayah. Demikian pula tidak dianggap warga ketika terdaftar di wilayah tersebut tetapi telah tinggal di tempat lain. 

Akhirnya dianggap warga dan akan mendapat haknya terkait fasilitas wilayah hanya jika terdaftar dan tinggal di wilayah tersebut. Selebihnya tidak. Lalu bagaimana nasib yang tinggal ditempat tersebut tetapi secara adminstrasi tidak terdaftar dan yang tinggal di wilayah lain tetapi secara adminstrasi terdaftar di wilayah tersebut. Padahal tanggungjawab negara adalah mengurusi seluruh rakyatnya, tidak pandang bulu serta tidak mengenal dimana tinggal dan dimana tercatat.  

Upaya Penghapusan Dikotomi

Hasil kolaborasi Dirjen Dukcapil Kemendagri sebagai penyedia data dasar dengan BPS pada Sensus Penduduk 2020 telah dirilis beberapa waktu yang lalu. Dari kegiatan tersebut diperoleh bahwa jumlah penduduk Indonesia pada bulan September 2020 sebanyak 270,20 juta jiwa. Satu dari beberapa indikator yang diperoleh dari SP2020 tersebut adalah informasi bahwa  23,47 juta atau 8,68 persen dari seluruh penduduk tersebut tidak ada kesesuaian antara domisili atau lokasi yang ditinggali dengan dimana yang bersangkutan terdaftar secara sah sebagai penduduk. Perbedaan ini bisa terjadi karena alasan pekerjaan maupun telah pindah tempat tinggal tetapi belum atau tidak mengurus kartu kependudukannya di tempat yang baru.

Pada tingkat nasional hal tersebut tidak terlalu menjadi masalah karena tetap saja berdomisili di wilayah Indonesia, secara de facto tinggal di Indonesia dan de yure juga sebagai warga Indonesia. Tetapi ketika perbedaan itu terjadi pada wilayah administrasi dibawahnya hinga tingkat RT-pun dimana terjadi perbedaan jumlah antara de facto dan de yure-nya maka akan terjadi ego siapa menjadi tanggungjawab siapa.  

Orang yang bekerja di luar wilayah yang harus meninggalkan keluarga dan kembali secara berkala biasanya tidak akan merubah kartu kependudukannya. Demikian pula bagi seseorang yang bekerja di suatu wilayah yang oleh institusinya dimungkinkan suatu saat dapat berpindah kembali. Bahkan telah berpindah ke wilayah lain dengan tujuan menetappun belum tentu akan memindahkan identitas kependudukannya.

Disamping karena alasan proses juga karena pertimbangan merubah identitas kependudukan seringkali akan berimplikasi pada harus dirubahnya surat-surat penting yang lain yang tentunya semakin membuat ribet. Contohnya SIM, STNK, Paspor dan surat-surat berharga yang lain.

Kolaborasi Dirjen Ducapil dan BPS pada Sensus Penduduk 2020 diharapkan menjadi titik awal bagi penyatuan data kependudukan sekaligus penyatuan makna istilah, sehingga Sensus Penduduk mendatang tidak perlu lagi secara terpisah. Cukup menggunakan data administrasi kependudukan yang ada di Disdukcapil. Namun melihat kenyataan tersebut diatas sepertinya akan sangat sulit untuk menjadi kenyataan.

Dengan tetap adanya perbedaan tersebut maka titik tujuan pembangunan negara bagi seluruh rakyatnya dengan berbasis data kependudukan dengan  pembangunan wilayah berbasis data warga akan sulit untuk mencari titik temu. Selama masih ada dikotomi warga dan penduduk serta masih terjadi perbedaan data akibat perbedaan konsep dan sistem yang dibangun maka selama itu pula ego sektoral dan ego regional akan tetap ada.

Sebagai contoh kasus gubernur diatas ketika jumlah fasilitas kesehatan disediakan berdasar data penduduk yaitu jumlah penduduk yang tinggal di wilayah tersebut dan bukan berapa warga yang tercatat di wilayah tersebut maka keluhan diatas tidak akan pernah terjadi. Seperti pula halnya ketika berbagai stimulan atau bantuan pemerintah terhadap masyarakat diberikan berdasar kondisi orang yang tinggal pada suatu wilayah tersebut dan bukan pada semua orang yang tercatat dan tinggal maka tujuan negara dalam melindungi seluruh rakyatnya akan tercapai.

Oleh karena itu pemahaman terhadap seluruh pemangku wilayah terhadap konsep penduduk bahwa seluruh orang yang tinggal menetap atau bertujuan tinggal menetap di suatu wilayah, menjadi sebuah kewajiban bagi pemangku wilayah tersebut untuk bertanggungjawab atas haknya yang bersangkutan sebagai warga negara Indonesia. Sehingga tak ada warga negara yang tertinggal haknya oleh karena pemahaman pemangku wilayah yang tidak sama.

Mendatang dibutuhkan pula suatu sistem yang menjamin dengan mudah mampu mendeteksi dan merubah status kependudukan secara cepat, mudah dan murah. Disamping itu dibutuhkan pula kemudahan dan sinkronisasi segala hal-hal lain terkait akibat berpindahnya status kependudukan seseorang. 

***

*) Oleh : Tri Karjono, ASN BPS Provinsi Jawa Tengah

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta :
Editor : Ronny Wicaksono
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Tarakan just now

Welcome to TIMES Tarakan

TIMES Tarakan is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.