TIMES TARAKAN, YOGYAKARTA – Pakar Psikologi Industri dan Organisasi Universitas Gadjah Mada (UGM) menegaskan pentingnya memahami perbedaan antara stres, burnout dan depresi agar penanganannya tidak keliru.
Tekanan pekerjaan dan akademik yang meningkat menjelang tutup tahun memang kerap memicu keluhan kelelahan mental. Namun, tidak semua kondisi tersebut dapat langsung disebut sebagai burnout.
Dan pakar Psikologi Industri dan Organisasi Fakultas Psikologi UGM, Dr. Sumaryono, M.Si., menjelaskan bahwa burnout merupakan kondisi yang jauh lebih serius dibandingkan stres biasa. Burnout ditandai dengan kelelahan fisik, emosional, dan mental yang terjadi secara bersamaan dan dalam intensitas berat.
“Yang sering dialami banyak orang sebenarnya masih berada pada tahap stres. Burnout itu lebih parah karena muncul rasa tidak berdaya yang mendalam,” ujar Sumaryono, Jum’at (26/12/2025).
Menurutnya, pekerja memang rentan mengalami stres di akhir tahun akibat target kinerja, tenggat waktu, hingga evaluasi. Sementara pada mahasiswa, tekanan akademik di periode ini umumnya masih tergolong normal dan belum tentu mengarah pada burnout.
Sumaryono juga menyoroti kecenderungan penggunaan istilah burnout yang kurang tepat, terutama di kalangan generasi muda. Ia menilai, keluhan seperti pusing atau lelah sering kali langsung dilabeli burnout, padahal secara psikologis kondisi tersebut masih termasuk stres.
“Burnout itu bukan sekadar capek. Orang yang burnout merasa benar-benar tidak mampu menjalankan aktivitas, bahkan aktivitas lain di luar tugas utama,” jelasnya.
Adapun depresi, lanjut Sumaryono, merupakan gangguan psikologis klinis yang membutuhkan penanganan profesional. Ia juga tidak sepenuhnya sepakat bahwa Generasi Milenial dan Gen Z lebih rentan burnout dibanding generasi sebelumnya. Perbedaan utama, kata dia, terletak pada pengalaman dan daya lenting (resiliensi) dalam menghadapi tekanan.
“Setiap generasi punya tantangan masing-masing. Anak muda masih dalam proses belajar mengelola tekanan dan membangun strategi coping,” katanya.
Dalam konteks dunia kerja dan pendidikan, persepsi terhadap tuntutan sangat memengaruhi tingkat stres. Sumaryono menekankan pentingnya peran mentor, baik dosen pembimbing maupun atasan, dalam mendampingi anak muda melalui komunikasi terbuka dan pendekatan coaching agar tekanan tidak berkembang menjadi burnout.
Sebagai langkah pencegahan, ia membagikan strategi CHANGE, yakni memandang hidup sebagai tantangan (Challenge), menjaga harapan (Hope), beradaptasi dengan mengelola prioritas (Adaptation), membangun jejaring dukungan (Network), hingga bertumbuh menuju kinerja optimal (Growth and Excellence).
“Stres tidak boleh diabaikan, tetapi juga tidak perlu dibesar-besarkan. Dengan pemahaman yang tepat, stres justru bisa menjadi energi positif untuk tetap produktif,” paparnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Akhir Tahun Picu Tekanan Mental, Pakar UGM: Bedakan Stres dan Burnout
| Pewarta | : A. Tulung |
| Editor | : Ronny Wicaksono |